
Jakarta, Updatejakarta – Bencana tsunami yang melanda Jepang pada 11 Maret 2011 masih menjadi kenangan kelam bagi banyak orang. Gelombang raksasa yang datang tiba-tiba ini membuat banyak orang terkejut dan tak siap menghadapinya.
Ryo Kanouya, seorang pekerja yang saat itu tengah bersiap berangkat kerja, merasakan betapa mengerikannya peristiwa itu. Seperti biasa, Ryo bangun pagi-pagi, dan tak ada yang terasa berbeda. Ia berangkat kerja dengan tenang, melaksanakan rutinitas pagi. Begitu juga dengan rekan-rekannya di kantor. Mereka semua fokus bekerja, sesekali berbincang ringan ketika ada waktu luang. Namun, semua itu berubah mendalam saat jam menunjukkan pukul 15:30 waktu setempat.
Tiba-tiba, ponsel Ryo dan semua temannya berbunyi. Ada peringatan gempa yang kemudian diikuti dengan goncangan hebat di wilayah Fukushima. Bangunan-bangunan bergoyang dengan keras. Orang-orang berlarian mencari perlindungan, namun guncangan yang begitu kuat membuat mereka kesulitan untuk bergerak.
Tak lama kemudian, banyak bangunan yang roboh. Pohon-pohon dan tiang listrik juga ikut tumbang dalam sekejap. Setelah sekitar enam menit, guncangan akhirnya berhenti, dan Ryo serta rekan-rekannya berusaha menenangkan diri. Namun, itu belum berakhir.
“Saat kami berusaha menenangkan diri dari gempa besar itu, peringatan tsunami dikeluarkan,” kenang Ryo dalam wawancaranya dengan National Geographic, yang dikutip pada Sabtu (15/3/2025).
Otoritas terkait memperkirakan tsunami yang akan datang memiliki ketinggian sekitar tiga meter. Perusahaan tempat Ryo bekerja segera memerintahkan semua karyawan untuk pulang dan membantu masyarakat. Ryo pun segera menuju rumahnya yang hanya berjarak sekitar satu kilometer dari pantai.
Sesampainya di rumah, Ryo merasa sedikit lega karena keluarganya menenangkan dirinya, mengira bahwa peringatan tsunami sudah berakhir. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Beberapa menit kemudian, air mulai naik ke daratan. Ryo yang awalnya tidak khawatir kini terperangah saat melihat gelombang air bergerak cepat dan sudah berada di depan rumahnya. Dalam sekejap, air menerjang rumahnya, menghancurkan jendela dan tembok.
Awalnya, Ryo yakin rumahnya akan bertahan. Namun, dengan gelombang yang semakin tinggi dan arus yang semakin kuat, rumahnya pun hancur. Ryo terombang-ambing di air, terhanyut dan terhisap banyak air. Saat itu, ia merasa bahwa ia mungkin takkan selamat.
“Lebih baik saya menghembuskan udara yang tersisa di paru-paru saya untuk mati,” kenangnya, mengenang momen itu dengan penuh kesedihan.
Pada titik ini, Ryo terpisah dari keluarganya. Ia terombang-ambing di atas air, berpegangan pada sebuah lemari, merasa sedikit lega meskipun masih harus bertahan dalam situasi yang penuh penderitaan. Seiring waktu, Ryo melihat banyak orang yang tenggelam. Beberapa di antaranya berusaha bertahan hidup di atas puing-puing, sementara yang lainnya sudah mengapung tak bernyawa.
“Saya menunggu sampai permukaan air surut, perlahan-lahan air turun hingga saya akhirnya bisa menginjak tanah lagi,” terang Ryo.
Saat kakinya menyentuh tanah, Ryo merasa tubuhnya lemas. Setelah melewati ‘kiamat’ itu, ia melihat Fukushima hancur lebur. Banyak orang yang kehilangan nyawa, sementara yang lainnya luka-luka. Meski begitu, Ryo masih hidup, meskipun tubuhnya lelah dan terancam mati kedinginan.
Namun, ada satu hal yang patut disyukuri: Ryo masih bersama keluarganya, termasuk ayah, ibu, dan saudara perempuannya. Hanya neneknya yang hilang dan tak pernah ditemukan, kemungkinan besar telah meninggal dunia.
‘Kiamat’ Tak Selesai
Setelah situasi sedikit normal, pemerintah Jepang mengumumkan bahwa tsunami disebabkan oleh gempa berkekuatan M9 yang masuk dalam kategori megathrust. Gempa ini menghasilkan gelombang tsunami setinggi 40 meter yang melaju dengan kecepatan hingga 700 km/jam.
Menurut Situs Britannica, bencana tersebut merenggut nyawa sekitar 18.500 orang, dengan 10.800 orang lainnya hilang dan 4.000 orang luka-luka. Selain itu, ribuan rumah warga tak bisa lagi ditempati.
Namun, bencana ini tak berakhir begitu saja. Sehari setelah tsunami, pemerintah mengumumkan bahwa reaktor nuklir di Fukushima bocor, menyebabkan pencemaran yang memaksa kota tersebut menjadi tak layak huni. Penduduk yang selamat terpaksa menjalani hidup mereka sesuai dengan peribahasa: “sudah jatuh tertimpa tangga.”