
Jakarta, Updatejakarta – Ketegangan di Suriah memasuki babak baru dengan pertempuran sengit antara pasukan pemerintah dan milisi pendukung mantan Presiden Bashar al-Assad. Dalam empat hari terakhir, pertempuran ini telah menewaskan 1.454 orang, menurut laporan Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (HAM).
Dari jumlah tersebut, 973 di antaranya adalah warga sipil yang tewas di tangan pasukan keamanan dan sekutunya, sementara 231 personel keamanan dan 250 militan juga menjadi korban. “Jumlah total warga sipil yang terbunuh adalah 973, termasuk wanita dan anak-anak,” ujar Observatorium Suriah, dikutip dari AFP, Senin (10/3/2025).
Kekerasan Meluas: Pembunuhan dan Pembersihan Etnis
Kekerasan dimulai pada Kamis lalu, setelah ketegangan meningkat di wilayah Mediterania, tempat asal komunitas minoritas Alawite yang menjadi basis kekuasaan keluarga Assad. Ketegangan ini berubah menjadi pembunuhan massal, dipicu oleh penangkapan seorang tersangka yang dicari di sebuah desa mayoritas Alawite.
“Pembunuhan, eksekusi lapangan, dan operasi pembersihan etnis sedang berlangsung setelah bentrokan mematikan antara pasukan keamanan dan orang-orang bersenjata Alawite yang setia kepada Bashar al-Assad,” jelas Observatorium Suriah.
Janji Tanggung Jawab dan Penyelesaian
Presiden sementara Suriah, Ahmed al-Sharaa, mengimbau untuk persatuan nasional dan berjanji akan melakukan penyelidikan atas peristiwa tersebut. Dalam pidato yang disampaikan dari sebuah masjid di Damaskus, ia menyatakan, “Kami akan meminta pertanggungjawaban, dengan tegas dan tanpa keringanan, siapa pun yang terlibat dalam pertumpahan darah warga sipil atau yang melampaui kewenangan negara.”
Sharaa juga menekankan pentingnya hidup bersama di negara ini, berharap agar perdamaian dapat segera tercipta di tengah kekerasan yang terus meningkat.
Bentrokan Berlanjut: Pasukan Keamanan Menggeledah Desa
Sementara itu, gambar-gambar yang beredar di media sosial menunjukkan pasukan keamanan Suriah melaju menuju kota Jableh, antara Latakia dan Tartus, melalui asap hitam yang mengepul. Kementerian Dalam Negeri Suriah menyatakan bahwa pasukan pemerintah sedang melakukan “operasi penyisiran” di wilayah provinsi Tartus untuk “mengejar sisa-sisa rezim yang digulingkan.”
Sumber kementerian pertahanan juga melaporkan bentrokan yang terjadi di desa Tanita, dengan pasukan militer Suriah menggeledah rumah-rumah di beberapa area yang terkena dampak kekerasan.
Kekerasan yang Merenggut Banyak Nyawa Warga Sipil
Di Baniyas, sebuah kota di selatan, Samir Haidar, 67 tahun, menceritakan bagaimana dua saudara laki-lakinya dan keponakannya dibunuh oleh kelompok bersenjata yang memasuki rumah penduduk. “Mereka mengumpulkan semua pria di atap dan menembaki mereka,” kata Haidar merujuk pada peristiwa yang ia sebut sebagai “pembantaian.”
Reaksi Internasional: Kutukan dari Berbagai Pihak
Kepala hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Volker Turk, menyatakan bahwa pembunuhan ini “harus segera dihentikan.” Beberapa negara, termasuk Liga Arab, Amerika Serikat (AS), Inggris, dan negara-negara lainnya, turut mengutuk kekerasan yang terjadi. Pemerintahan semi-otonom Kurdi di wilayah utara dan timur Suriah juga mengecam tindakan ini, menegaskan bahwa praktik semacam ini membawa rakyat Suriah kembali ke masa kelam yang tidak ingin mereka alami lagi.
Harapan untuk Masa Depan yang Lebih Baik
Pemerintah baru Suriah yang dipimpin oleh kelompok Islamis Hayat Tahrir al-Sham (HTS) berjanji untuk melindungi minoritas agama dan etnis di Suriah. Kelompok ini sebelumnya terlibat dalam penggulingan Bashar al-Assad pada Desember lalu. Pemerintah ini juga telah membuka pintu untuk diplomasi dengan Barat dan negara-negara tetangga, berusaha meringankan sanksi internasional dan mendatangkan investasi untuk membangun kembali negara yang hancur akibat perang saudara selama 13 tahun.
Suriah berkomitmen untuk dibangun kembali berdasarkan “aturan hukum,” seperti yang dijanjikan oleh Sharaa.