
Jakarta, Updatejakarta – Di tengah ancaman kebijakan tarif balasan (reciprocal tariff) dari Amerika Serikat (AS), para pengusaha tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia justru mendorong pemerintah untuk membuka lebih banyak impor kapas dari Negeri Paman Sam. Langkah ini dinilai sebagai strategi untuk mempertahankan pasar ekspor ke AS sekaligus memperkuat industri TPT nasional, dari hulu ke hilir.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mengungkapkan bahwa meski kebijakan tarif baru AS bisa menjadi hambatan, masih ada peluang untuk menjaga ekspor produk tekstil Indonesia dengan tarif yang lebih rendah.
Ekspor ke AS Masih Bisa Terus Berlanjut dengan Syarat
API dan APSyFI menyatakan bahwa, “Ekspor ke AS masih tetap bisa dilakukan dengan tarif rendah, asalkan produk kita mengandung minimal 20% bahan baku yang berasal dari AS,” seperti yang tercantum dalam keterangan tertulis yang diterima Updatejakarta pada Jumat (4/4/2025).
Karena AS tidak memproduksi benang atau kain, bahan baku yang paling mungkin diambil dari sana adalah kapas. Oleh karena itu, kedua asosiasi ini mendorong agar pemerintah Indonesia membuka keran impor kapas dari AS yang dapat dipadukan dengan serat polyester dan rayon produksi dalam negeri.
Meningkatkan Kinerja Industri TPT Nasional
Menurut API dan APSyFI, jika kapas dari AS dipintal, ditenun, atau dirajut di dalam negeri, kombinasi bahan baku ini akan memperkuat kinerja industri TPT Indonesia secara keseluruhan. Di sisi lain, langkah ini juga diharapkan dapat mengurangi impor produk jadi seperti benang, kain, dan garmen.
Saat ini, mereka menyoroti ketimpangan besar dalam impor. Dalam situasi normal, Indonesia sudah mengimpor kapas dari AS dengan nilai mencapai US$ 600 juta per tahun. Namun, yang ironis adalah Indonesia justru membanjiri pasarnya dengan impor produk jadi dari China, seperti benang, kain, dan garmen, yang totalnya mencapai US$ 6,5 miliar.
Impor dari China Membebani Industri Dalam Negeri
“Produk-produk impor dari China ini masuk dan bersaing tidak sehat, sehingga mematikan industri dalam negeri. Akibatnya, utilisasi mesin produksi kita hanya sekitar 45%,” ungkap mereka.
Salah satu dampak paling mencolok terjadi pada industri pemintalan, di mana saat ini hanya 4 juta dari total kapasitas terpasang sebesar 12 juta mata pintal yang aktif digunakan.
Dorongan untuk Negosiasi Dagang yang Menguntungkan
Menanggapi hal ini, API dan APSyFI mendesak pemerintah Indonesia untuk segera melakukan negosiasi dagang timbal balik (reciprocal) dengan AS. Mereka berharap, sebagai bagian dari kesepakatan dagang, Indonesia bisa mengimpor lebih banyak kapas dari AS sebagai “trade-off”. Hal ini dinilai jauh lebih baik dibandingkan dengan terus mengimpor produk jadi dari negara lain yang justru merusak pasar dalam negeri.
“Kami berharap pemerintah bisa mendorong impor bahan baku yang tidak bisa kita produksi, bukan produk jadi. Ini akan menyelamatkan industri tekstil nasional sekaligus menciptakan lapangan kerja,” tegas mereka.