
Jakarta – Updatejakarta – “Singapura harus bersiap menghadapi lebih banyak guncangan yang akan datang, karena ketenangan dan stabilitas global yang dulu pernah ada tidak akan kembali dalam waktu dekat,” kata Perdana Menteri (PM) Singapura Lawrence Wong dalam sebuah video di YouTube pada Jumat, 4 April 2025.
Pernyataan ini disampaikan setelah Amerika Serikat, pada Rabu, 2 April 2025, memberlakukan tarif baru yang besar terhadap hampir semua mitra dagangnya, yang langsung memicu serangkaian langkah balasan dari negara-negara yang menjadi target.
Namun, ketika menonton video tersebut, yang paling terasa bukan sekadar esensi pernyataan PM Wong, tetapi juga nada tenangnya. Cara berkomunikasinya sangat menarik untuk dicermati. Ia tidak sekadar menyampaikan keluhan atau membela kepentingan jangka pendek negaranya, tetapi mengedepankan sikap yang terukur dan jauh dari retorika populis.
Diplomasi Strategis yang Terukur
Di tengah iklim global yang sering kali dipenuhi gejolak dan narasi emosional, pendekatan Wong menonjol karena mencerminkan kekuatan diplomasi strategis. Dengan kesadaran penuh atas posisi Singapura dalam geopolitik global, Wong memilih untuk berbicara dengan jujur dan jelas, tanpa mengandalkan diksi konfrontatif.
Ia tidak menyebut kebijakan tarif AS sebagai “ancaman” atau “kebijakan tidak adil”. Sebaliknya, ia menyampaikan realitas ekonomi global bahwa dunia sedang mengalami fragmentasi, dan Singapura tidak kebal terhadap dampaknya. Dengan cara ini, ia tidak menyalahkan pihak lain, tetapi mengajak publik untuk memahami posisi negara mereka dalam sistem global yang semakin terpecah.
Pendekatan ini bukan gaya komunikasi reaktif, melainkan reflektif. Wong tidak mencoba mengobarkan api sentimen, melainkan menyalakan lentera kesadaran publik tentang tantangan yang dihadapi negara kecil seperti Singapura. Ini memberikan pelajaran berharga, terutama bagi negara-negara berkembang yang rentan terhadap turbulensi politik domestik.
Membangun Pemahaman Kolektif, Bukan Retorika Perlawanan
Dalam situasi serupa, banyak pemimpin cenderung menggunakan bahasa perlawanan atau menyalahkan negara lain untuk menunjukkan keberpihakan pada rakyat. Namun, komunikasi semacam itu kerap bersifat jangka pendek, mudah terbakar oleh sentimen nasionalisme, dan tidak menyelesaikan masalah yang ada.
Sebaliknya, Wong memilih jalur yang lebih sulit – membangun pemahaman kolektif melalui fakta dan visi strategis. Ia berbicara bukan hanya sebagai kepala pemerintahan, tetapi juga sebagai pendidik publik yang mengajak seluruh masyarakat untuk berperan serta dalam menghadapi ketidakpastian global.
Salah satu aspek paling efektif dari respons Wong adalah bagaimana ia mengaitkan isu eksternal dengan agenda internal Singapura. Ia tidak membiarkan kebijakan tarif AS dipandang sebagai sekadar konflik antara dua raksasa ekonomi. Sebaliknya, ia membawa isu tersebut ke ranah domestik, yakni pentingnya memperkuat ketahanan ekonomi, memperluas jaringan perdagangan, dan mengantisipasi disrupsi jangka panjang.
Dengan cara ini, Wong tidak hanya membuat publik menjadi penonton pasif dalam “perang dagang”, tetapi mengajak mereka untuk terlibat sebagai bagian dari solusi nasional. Ini tidak hanya memperkuat kohesi sosial, tetapi juga menumbuhkan rasa tanggung jawab bersama.
Komunikasi Krisis yang Menghubungkan Dunia Luar dengan Tindakan Dalam Negeri
Dalam komunikasi krisis, narasi yang menghubungkan isu global dengan tindakan domestik sangatlah penting. Pendekatan PM Wong konsisten dengan temuan riset Jin, Pang, dan Cameron (2006) tentang komunikasi strategis dalam menghadapi krisis, seperti yang tercatat dalam jurnal Strategic Communication in Crisis Governance: Analysis of the Singapore Management of the SARS Crisis. Riset ini menyebutkan bahwa pemerintah Singapura telah lama menggunakan strategi komunikasi yang jelas, konsisten, dan menyatukan masyarakat dalam menghadapi krisis, seperti yang terlihat dalam respons mereka terhadap wabah SARS.
Ketahanan dan Adaptasi: Jalan Singapura ke Depan
PM Wong memahami betul bahwa Singapura adalah negara kecil yang sangat terbuka terhadap arus global. Justru karena itu, ia memilih untuk menyampaikan pesan yang kuat tentang pentingnya ketahanan dan adaptasi, bukan hanya untuk menghadapi kebijakan luar negeri, tetapi untuk menciptakan solusi berkelanjutan di dalam negeri.
Wong tidak menawarkan retorika pelindung yang semu, tetapi menyampaikan strategi nasional dengan jujur dan mengajak semua pihak untuk terlibat. Ini adalah bentuk komunikasi yang mengedepankan peran serta warga negara, bukan ketergantungan pada negara.
Ia tidak mengandalkan jargon teknokratik yang sulit dipahami, tetapi berbicara dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh publik. Ini menunjukkan bahwa efektivitas komunikasi bukan hanya soal seberapa sering seorang pemimpin muncul di media, tetapi seberapa dalam pesannya meresap dan mampu membuat publik berpikir dan bertindak dengan akal sehat.
Pelajaran untuk Indonesia
Dalam konteks Indonesia, gaya komunikasi seperti ini sangat layak menjadi rujukan. Ketika menghadapi kebijakan luar negeri yang berimbas pada ekonomi domestik, pemimpin perlu membangun narasi yang jelas, tidak panik, dan memberi arah kepada publik.
Dibutuhkan keberanian untuk mengatakan hal yang tidak populis dan keteguhan untuk tetap rasional di tengah tekanan politik. PM Wong menunjukkan bahwa ketenangan bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan. Dalam ketenangan itulah pemimpin dapat membangun kepercayaan publik yang kokoh.
Efektivitas komunikasi Wong juga terlihat dalam konsistensinya. Ia tidak hanya tampil saat ada guncangan, tetapi terus membangun narasi jangka panjang tentang posisi Singapura dalam dunia yang terus berubah. Hal ini memperkuat persepsi publik bahwa pemerintah tahu apa yang sedang dihadapi dan ke mana arah negara akan menuju.
Kesimpulan
Dalam dunia yang dipenuhi kebisingan retorika dan gejolak politik, suara jernih seperti PM Wong adalah pemandu arah yang langka dan layak untuk ditiru. Ia bukan hanya berbicara untuk didengar, tetapi untuk membuat rakyatnya berpikir dan bergerak bersama, menciptakan kesadaran kolektif dalam menghadapi tantangan global yang terus berubah.