
Jakarta, Updatejakarta – Membeli baju baru untuk dikenakan saat Lebaran adalah salah satu tradisi yang tak lekang oleh waktu bagi masyarakat Indonesia. Namun, tahukah Anda bahwa kebiasaan ini ternyata sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu? Updatejakarta melakukan penelusuran dan menemukan bahwa tradisi ini bukanlah sesuatu yang baru, melainkan sudah ada sejak masa lampau.
Bukti historis mengenai kebiasaan membeli baju baru ini ditemukan melalui pengamatan seorang akademisi Belanda, Snouck Hurgronje atau Haji Abdul Gaffur (1857-1936). Snouck, yang dikenal sebagai seorang agnostik, tertarik dengan dunia Islam dan pada tahun 1885 ia berhasil masuk ke Mekkah, di mana ia tinggal selama enam bulan untuk mendalami agama Islam lebih dalam.
Setelah itu, pemerintah Hindia Belanda menugaskannya untuk mengamati kehidupan masyarakat Aceh. Selama di Aceh, Snouck menulis buku De Atjeher, yang kemudian menjadi rujukan penting bagi pemerintah kolonial dalam mengatasi gejolak perlawanan dari masyarakat Aceh.
Salah satu hal yang menarik perhatian Snouck selama berada di Aceh adalah kebiasaan warga yang membeli baju baru menjelang Lebaran. Dalam bukunya Dalam Aceh di Mata Kolonialis (1906), Snouck menceritakan bagaimana pasar penjualan pakaian di akhir bulan puasa dipenuhi oleh warga, bahkan jauh lebih ramai dibandingkan dengan pasar daging atau hewan.
Menurut Snouck, fenomena ini terjadi karena masyarakat ingin mengenakan pakaian baru sebagai bentuk perayaan hari raya. Di Aceh, kasih sayang atau penghargaan seorang suami terhadap istri dan anaknya diukur dari barang belanjaan yang dibawa pulang dari pasar, mulai dari daging hingga baju baru.
Namun, sebelum mengenakan pakaian baru, ada satu kewajiban yang harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu membayar zakat fitrah. Baru setelah kewajiban agama ini ditunaikan, masyarakat akan mengenakan pakaian baru mereka saat Lebaran tiba.
“Sesudah membayar fitrah, mereka mengenakan pakaian baru […] dan kemudian melakukan kunjungan untuk mengucapkan selamat,” tulis Snouck dalam catatannya.
Tidak hanya di Aceh, Snouck juga menemukan kebiasaan serupa di Batavia (sekarang Jakarta). Dalam suratnya kepada Direktur Pemerintahan Dalam Negeri tanggal 20 April 1904, ia menggambarkan suasana Lebaran di Batavia yang dipenuhi dengan pesta, hidangan khas Lebaran, silaturahmi ke keluarga, serta pembelian pakaian baru dan hiburan.
Snouck juga mencatat bahwa pengeluaran masyarakat saat Lebaran, untuk membeli pakaian baru, petasan, dan makanan, bisa jauh lebih besar dibandingkan hari-hari biasa. Ini terjadi karena masyarakat menganggap Lebaran sebagai hari yang sangat istimewa.
“Di antara hari-hari peringatan yang sekali setahun berulang dan yang bagi seluruh penduduk berlaku demikian, Lebaran yang mengakhiri ibadah puasa adalah yang paling terkemuka, dan itu tak dapat dibantah,” tulis Snouck dalam Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Jilid IV (1991).
Menariknya, kebiasaan ini sempat menuai kritik dari pejabat kolonial yang melihat perayaan Lebaran sebagai pemborosan dan bahkan menganggapnya sebagai “bencana ekonomi.” Mereka pun mendesak agar perayaan Lebaran dihapuskan.
Namun, Snouck membantah anggapan tersebut, dan menyatakan bahwa perayaan Lebaran sudah menjadi tradisi yang begitu kuat bagi umat Muslim di Indonesia. Pernyataan ini terbukti benar, karena hingga kini, kebiasaan membeli baju baru untuk Lebaran masih terus berlangsung dan menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi Lebaran di Indonesia.